Minggu, 08 Januari 2012

SOE HOK GIE

“Tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis …
nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah umur tua.
Rasa-rasanya memang begitu.
Bahagialah mereka yang mati muda.

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya.
Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. 
Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … 
orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”



"Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? 
Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa 
tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. 
Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, 
karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran."

"Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. 

Lumpur-lumpur yang kotor. 
Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah."

"Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah

Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau."

   "Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. 

Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan."

"Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". 
Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa,
sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.

"Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa,

jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis,
walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. 
Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. 
Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun".

"Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. 

Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.
Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. 
Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah.
Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi".

"Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. 

Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? 
Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?".

"Bagiku perjuangan harus tetap ada.

Usaha penghapusan terhadap kedengkilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis".

"Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah".

"Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan.

Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita".

"Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia".

"To be a human is to be destroyed".

"Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin".

"Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.

 "I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist"

"Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. 

Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata".  

"Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. 
Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru.
Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. 
Semuanya terasa mesra tapi kosong. 
Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. 
Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. 
Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya"

"Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. 

Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun.
Dan melupakan perang dan kebencian.
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik"

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami.
Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan.
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.
Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat.
Karena itulah kami naik gunung.
 
Manusia, adalah apa yang dipikirkannya.
Jika anda adalah seorang yang berani dan jujur, dan itu yang anda pikirkan, tidak ada sesuatu pun yang bisa mengubahnya.”

“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga.
Aku besertamu orang-orang malang…” - Soe Hok Gie, Zaman Peralihan 

sosok idealis dan humanis 

terima kasih untuk gerakan dan kenangan perjuanganmu sobat...

semoga menjadi inspirasi dan terwujudlah mimpi-mimpimu untuk tanah air Indonesia

"dari balik teriakan - jeritannya dalam demonsrasi dan tulisan  terdapat kesepian di lubuk hatinya tapi bukan soe hok gie bila tidak menomor satukan nilai-nilai humanis "

3 komentar:

  1. kakara baca nya, pertama urang baca soe hok nginspirasi banget, tapi ada suatu hal nu ku urang ngga mau terjadi dalam diri urang yang terjadi dalam soe hok gie, soe hok sangat dibutuhkan kala itu oleh orng-orang tapi tidak ada yang berani menjalin hubungan secara emosional, karena soe hok gie terlalu berani,,,
    mka sampai akhirnya tetap soe hok gie merasa sepi atas dirinya sendiri. .
    soe hok gie merasa banyak kepesimisan ketika dia berbicara tetang indonesia,,,
    tapi salah satu orang yang bisa menyalurkan semangatnya walalupn dia sudah tidak ada, salah satunya soe hok gie, ketika baca bukunya, getar-getar revolusi mengarlir dari buku ke otak dari otak ke hati dan ke sarap motorik,, ,

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus