nur= cahaya. aini = mata |
Minggu
pagi ini seperti biasa aku keluar dari zona aman kasur tercinta menuju mangga
dua bukan untuk berbelanja tetapi bertemu dengan anak-anak di TK kampung muka. Aku
bukan seorang guru TK tetapi hanya seorang volunteer
pada yayasan ini. Setelah dua minggu tidak bertemu mereka sangat rindu
rasanya karena aku merasa mereka adalah suplement semangat, entahlah mungkin
karena semangat mereka yang membuat aku merasa begitu.
Pukul
09.40 aku sampai di kampung tersebut, ternyata anak-anak sudah berkumpul di
dalam masjid yang letaknya tepat di depan TK. Karena TK masih terkunci jadi
mereka berkumpul di sana. Satu persatu mereka menghampiri aku dan mencium
tangan ini, meskipun aku bukan guru tetapi mereka selalu memperlakukan aku
seperti guru mereka. Mengharukan.
Sembari
menunggu volunteer yang lain aku dan beberapa anak yang sudah berkumpul asik
mengobrol. Mereka menceritakan hari minggu lalu yang tepatnya adalah tahun
baru.
“kami
bermain ke kota tua kak, ada ceramah dari ustad siapa gtu nama’a..pokoknya rame
deh kak”, cerita mereka dengan penuh antusias.
“terus
pas jam 12.00 banyak kembang api kak, bagus pokoknya”, tambah yang lain.
Senang
sekali mendengar cerita mereka dan melihat wajah mereka yang sangat semangat.
Mereka mungkin tidak seberuntung anak kota lain yang dapat menghabiskan tahun
baru bersama keluarga untuk keluar kota atau bahkan keluar negeri, tetapi mereka sama sekali tidak kecewa dengan hal itu. Malah mereka tetap senang, mereka selalu bersyukur dan aku
belajar banyak tentang kata ‘syukur’ dari mereka.
“assalamualaikum
ka”, seorang anak datang menghampiri aku dan mencium tangan aku.
“waalaikumsalam
nuraini”, ku balas salamnya dan mengelus kepalanya yang terbalut dengan kerudung
orange yang sangat serasi dengan busana
muslimnya.
“kakak..bapaknya
nuraini udah meniggal kak, masuk tv lho” celetuk Alan.
Aku
tersentak mendengarnya, ku tatap nurain yang sudah duduk di hadapanku.
“inalillahi...kenapa?”,
tanyaku perlahan, tak tega rasanya membuatnya harus kembali mengingat hal yang
pasti membutnya bersedih.
“jadi
pas lagi jualan di pinggir kali bapak kejang kak, terus ketiban batu, lama ngga
ada yang nolong, jadi meniggal kak. Iya kak masuk tv lho”, nuraini menceritakan
dengan sangat semangat, tidak ada beban, tidak terlihat sedih, sesuai dengan
namanya matanya tetap bercahaya tak tertutup oleh air mata. Sangat polos.
“sabar
y sayang…semoga bapak nuraini diterima disisiNya, yuk sama-sama kita baca surat Al-Fatihah, coba Alan pimpin”, hanya itu yang
bisaku ucapkan sembari menatap kedua matanya mencoba mencari kesedihan yang mungkin ia sembunyikan, tapi tak ada. Apa mungkin hiduplah yang telah
mengajarkannya untuk menerima semua yang terjadi, mungkin ini bukan kali
pertama ia merasakan kehilangan sehingga lelah rasanya harus menambah dengan kesedihan.
Tak
terbayang rasanya harus menjalani hidup seberat anak ini. Nuraini saja masih kelas
2SD belum kedua adiknya yang masih kecil-kecil. Ketika bapaknya masih hidup pun
hidupnya tak semulus anak kota lain yang lebih beruntung, bagaimana dengan
sekarang. Ya Allah berkahilah anak ini.
Sejak
saat itu saya sangat simpati pada nuraini. Jujur sebelumnya saya tidak terlalu
suka padanya. Dia seharusnya sudah kelas 4SD tetapi keterbatasannya dalam
memahami pelajaran terutama menulis sangat kurang sehingga membuatnya harus
tinggal kelas selama 2 kali. Pertama kali mengenalnya dia cukup pendiam dan
mengasingkan diri berbeda dengan teman-temannya yang lain yang lebih kelewat
aktif. Yang aku tidak suka ketika waktu belajar, nuraini adalah anak yang
pertama kali menolak bila diminta untuk mengarang begitu pun mengambar yang
notabennya di sukai oleh anak-anak. Ketika kita akan outbound dan menginap
semalam di Bogor aku mendiktekan barang-barang yang harus di bawa, semua anak
mencatat kecuali nuraini yang tiba-tiba menghampiriku dan berbisik ‘kak nanti
tulisin yang buat aku y’. Jelas aku menolak dan memberinya kertas juga pulpen
dan kembali mendiktekan secara pelan-pelan khusus untuknya, baru menulis
beberapa point ia langsung mengeluh dan benar-benar tak mau menulis ‘capek kak’
itulah kata andalannya yang selalu ia ucapkan. Saya dan volunteer lain pun
menyadari kelainan khusus yang ada pada nuraini, jadi memang butuh kesabaran
khusus pula untuk anak yang satu ini. Tetapi
aku lebih memilih mengurus anak yang lain karena jujur aku tak tak sabaran orangnya.
Beda
cerita setelah hari ini, ada cahaya lain yang telah kulihat dari dirinya. Bukan
hanya cahaya di kedua bola matanya. Tetapi lebih dalam lagi yaitu cahaya di
hatinya. Anak usia 9 tahun ini lebih dewasa menyikapi arti kematian. Mungkin
sederhana saja baginya arti kematian dan kehilangan itu tapi bukankah memang
seharusnya seperti itu. ‘sesungguhnya semua akan kembali pada-Nya’. Anak ini paham bahwa semua tak ada yang abadi dah ia terima itu.
Tepat
jam 10.00 volunteer yang lain datang. Kak aji membuka gerbang TK dan anak-anak
pun langsung menuju lantai 2. Ruangan yang biasa kami gunakan untuk belajar
hari minggu. Setelah berdoa bersama kak aji mulai membagi dua kelompok antara
anak-anak kelas 1 ke bawah dan anak-anak kelas 1 ke atas. Dibagi dua kelompok
karena hari ini kami ingin meminta anak-anak yang kelas 1 ke atas (karena yang
kelas 1 ke bawah menulis pun masih susah makanya kami pisah) untuk menuliskan
resolusi mereka di tahun 2012 ini. Tanpa perintah aku langsung mengajukan diri
mengajar anak-anak kelas 1 ke bawah karena aku tau nuraini pasti masuk dalam
kelompok ini meskipun ia sudah kelas 2, ini lah kekhususan untuknya.
Hari
ini izinkanlah aku membayar ke jahatanku selama ini nuraini. Kejahatan karena
tak melihat cahaya hatimu . Kejahatan karena kurang sabar
dalam mendidikmu.
‘ayo
anak-anak hari ini pada mau belajar apa?’ begitulah aku memulai pembelajaran
dihadapan 7 anak-anak lain.
Hatinya
begitu bercahaya. Dan sejak saat itulah aku jatuh cinta padanya, pada cahaya
yang telah ia pancarkan. Secerah matahari dengan sunset dan sunrisenya. Secerah
langit dengan hiasan awan. Secerah pelangi dengan warnanya. Secerah itulah
hatimu nuraini, yang bercahaya kedua bola matanya.